Tafsir Putaran Pilpres Oleh: Agus Riewanto
MENDEKATI pelaksanaan pilpres, ada satu persoalan penting yang tiba-tibamenjadi perhatian banyak pihak, terutama KPU, pemerintah, DPR, dan tim
capres, yaitu yang terkait dengan multitafsir ketentuan Pasal 159 Ayat
(1) dan (2) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden (SM, 12/6/14). Pasal 159 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 42 Tahun
2008 mengatur syarat minimal memenangi pilpres.
Pasal itu menyebutkan, pasangan capres/cawapres harus mendapat suara 50%
dari jumlah pemilih, dengan sedikitnya 20% di tiap provinsi tersebardi
lebih dari setengah jumlah provinsi. Bila memenuhi syarat itu, keduanya
dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Andai tak tak ada pasangan
capres/- cawapres yang memenuhi syarat kemenangan tersebut maka pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, kembali dipilih
secara langsung oleh rakyat. Teks pasal ini merupakan turunan dari
konstitusi kita, Pasal 6 AAyat (3) dan (4) UUD 1945 pascaamendemen.
Ketentuan pasal ini merujuk dinamika politik pilpres 2009 yang
mengikutsertakan lebih dari dua pasangan capres/cawapres. Namun situasi
politik pilpres 2014 ada hal yang berbeda, mengingat menyertakan hanya
dua pasangan, yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa.
Bagaimana andai dua pasangan itu tidak bisa memenuhi syarat kemenangan
tersebut karena kompetisi yang cukup ketat, apakah tetap dilakukan dua
putaran atau cukup hanya satu putaran? Undang-undang itu sejatinya harus
mempertegas dan memastikan, apakah ketentuan pilpres dua putaran dalam
Pilpres 2009 itu akan kembali diberlakukan/- diterapkan dalam Pilpres
2014.
Tentunya dengan mempertimbangkan segala risiko konflik politik, baik
dari aspek politik maupun hukum ketatanegaraan. Ketegasan itu diperlukan
melalui rujukan konstitusi (UUD 1945) supaya tidak menimbulkan banyak
tafisir tapi justru melahirkan kepastian hukum.
Kepastian hukum menjadi amat urgen mengingat UU Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mengandung aneka problem
multiinterpretasi politik dan hukum. Undang-undang itu, secara
sosiologis, filosofis dan sejarah, hanyalah dipersiapkan untuk
penyelenggaraan Pilpres 2009, bukan Pilpres 2014. Karena itu,
settingkonsiderannya memotret situasi Pilpres 2009.
Dilihat dari aspek hukum ketatanegaraan tidak mudah memberlakukan
ketentuan UU yang dipersiapkan untuk suatu peristiwa tertentu tapi
hendak kembali diterapkan dalam situasi lain. Norma hukum Pasal 159 Ayat
(1) dan (2) UU Nomor 42 Tahun 2008 merupakan turunan dari norma hukum
tertinggi, yakni Pasal 6AAyat (3) dan (4) UUD 1945 pascaamendemen
ketiga.
Sesungguhnya bila menggunakan tafsir legal formal (positivistik),
ketentuan dalam Pasal 159 Ayat (1) dan (2) tidak ada yang salah,
terutama bila dikaitkan teori hukum Hans Kalsen (1971) Stufenbau Theory
dalam General Theory and State, yang menetapkan asas: jika sebuah norma
hukum telah merujuk pada norma hukum tertinggi (grundnorm) maka dianggap
benar.
Karena itu, ketentuan dalam norma Pasal 159 Ayat (1) dan (2) harus
dilaksanakan apa pun yang terjadi, berikut segala risiko yang muncul,
baik dari aspek sosial politik berupa kemungkinan konflik horizontal
antarpemilih dan antarelite politik (vertikal) maupun dari aspek
kemahalan biaya pemilu. Justru bila tidak dilaksanakan berarti telah
terjadi pelanggaran konstitusi.
Mayoritas Mutlak
Artinya ketentuan pemenuhan persyaratan minimal menang harus memenuhi
tiga syarat dalam pilpres, yaitu pertama; memperoleh 50% dari jumlah
pemilih, kedua; menang di 20% tiap propinsi, ketiga; tersebar di
setengah (1/2) jumlah provinsi di Indonesia. Jika tidak terpenuhi maka
dilanjutkan dengan pilpres putaran kedua.
Pada putaran kedua pasangan dengan memperoleh suara terbanyak ditetapkan
sebagai pemenang. Norma Pasal 159 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 6AAyat (3)
dan (4) UUD 1945 ini dilihat dari aspek politik hukum dan pilihan
terhadap sistem pemilu sesungguhnya menegaskan bahwa pilpres di
Indonesia mengadopsi sistem pemilu berasas mayoritas mutlak (majority
system) dengan varian model sistem dua putaran (two round system).
Jadi, bukan mengadopsi sistem pemilu berasas mayoritas sederhana (first
pass the post) dengan varian model sistem satu putaran (one round
system). Dalam praktik, sistem pemilu mayoritas mutlak memerlukan
pemenuhan syarat terpilih secara mayoritas dari jumlah pemilih, yakni
50% suara lebih, dan diperlukan persyaratan penyebaran suara di tiap
provinsi dengan kuota tertentu.
Hal itu dimaksudkan untuk mengukur kuat dan luasnya basis dukungan
penduduk yang mempunyai hak pilih. Pilihan hukum ketatanegaraan yang
tersedia untuk menyudahi multitafsir terhadap ketentuan Pasal 159 Ayat
(1) dan (2) UU UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang adalah menyempurnakannya
dengan merevisi UU tersebut. Namun karena tak tersedia cukup waktu bagi
presiden dan DPR untuk menyusun UU baru maka harus dicari pilihannya
selanjutnya.
Dalam kondisi darurat atau kegentingan yang memaksa, harus ada kejelasan
hukum. Satu-satunya cara adalah KPU, presiden, dan DPR, duduk bersama
dan mengusulkan kepada presiden supaya segera mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Jadi, bukan meminta fatwa
ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengingat UUD 1945 pascaamendemen tidak
mengenal fatwa MK kecuali melalui judicial review. (10)
— DrAgus Riewanto SH MA, dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta