Headlines

Tes Berita mo Coba Akang kalau Jadi

27 Ags 2015 / 0 Comments

Bunga-bunga mekar. (foto istimewa) KOTAMOBAGU - cuma ada tes akang berita ini jangan taru kira dari nda mungkin ini mo jadi asli kong cuma gambar bunga-bunga.

Selengkapnya...

Nasional
Politik

Pemuda BMR Dorong MMS dan YSM di Pilgub Sulut

Marlina Moha Siahaan bersama Yasti Soepredjo MokoagowKOTAMOBAGU – Nama dua politisi wanita BMR, Marlina Moh...

Pengurus Golkar Bolsel Bakal Dirombak

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE ...

Opini

Dapatkah Aleg Jadi Pahlawan Rakyat?

Penulis: Meiki LaohWakil rakyat kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman-teman dekat, begitulah penggalan l...

OPINI: "Hantu" 100 Hari Presiden Jokowi

SENIN 20 Oktober 2014, kita sebagai warga negara Indonesia, baru saja menyaksikan perpindahan tongkat pemerin...

Kotamobagu
Bolmong

Honorer K2 Bodong Jadi Target

Ilustrasi BOLMONG  – Ini warning kepada 724 honorer daerah (honda) kategori 2 (K-2) di Pemkab Bolmo...

Bolsel

Tak Kantongi Izin TInggal, Warga Filipina Diamankan di Bolsel

Bendera Filipina Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE ...

Perda Air Bersih akan Dibahas Tahun Ini

IlustrasiBOLSEL – Keluhan masyarakat terkait pasokan air bersih di Bolsel tampaknya ditanggapi pihak pemerint...

Pengurus Golkar Bolsel Bakal Dirombak

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE ...

Boltim

CPNS Golongan III Ikut Diklat Prajabatan

IlustrasiBOLTIM-Sebanyak 100 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Golongan III di Kabupaten Bolaang Mongondow Ti...

Anggaran Infrastruktur di Boltim Meningkat Tiap Tahun

Tampak terlihat sejumlah pekerja buruh harian melakukan pembersihan atau pengangkatan endapan air dan becek d...

Operasi Pasar Beras Murah Masih Kabur

Operasi Pasar Beras (foto:ils)BOLTIM- Rencana pemerintah daerah Bolaang Mongondow Timur (Boltim) melalui Dina...

Hukrim

BMR Resmi Miliki Dandim Baru

Serah terima tongkat komando yang dipimpin Dankorem 131 STG Brigjen TNI Binarko Sugiantyo.BMR - Memperkokoh N...

Pendidikan

Soal Pertanggungjawaban BOS, Kepsek Harus Transparan

IlustrasiBOLMUT - Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Bolmut Drs Leksi kembali mene...

Sport
Lifestyle
Bisnis
Terbit pada:Kamis, 19 Juni 2014
Ditulis oleh: Unknown

Ekonomi Kerakyatan Dalam Era Globalisasi

OPINI - Banyak orang berpendapat bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah
menjadi korban arus besar "globalisasi" yang telah menghancur-leburkan
sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. "Diagnosis"
tersebut menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin menunjukkan
di sini bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur 23
tahun sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham ekonomi Neoklasik
Barat yang memang cocok untuk menumbuhkan ekonomi (ajaran efisiensi)
tetapi tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan (ajaran keadilan). Pada
waktu itu (1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut
Ekonomi Pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila dijadikan
"Polemik Nasional" selama 6 bulan tetapi selanjutnya digemboskan dan
ditenggelamkan.

Kini 21 tahun kemudian, kami mendapat banyak undangan ceramah/seminar
tentang ekonomi kerakyatan yang dianggap kebanyakan orang merupakan
ajaran baru setelah konsep itu muncul secara tiba-tiba pada era
reformasi. Kami ingin tegaskan di sini bahwa konsep ekonomi kerakyatan
bukan konsep baru. Ia merupakan konsep lama yaitu Ekonomi Pancasila,
namun hanya lebih ditekankan pada sila ke 4 yaitu kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Inilah asas demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan
pasal 33 UUD 1945, yang oleh ST MPR 2002 dijadikan ayat 4 baru.

Mengapa tidak dipakai konsep Ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah kata
Pancasila telah "dikotori" oleh Orde Baru yang memberi tafsiran keliru
dan selanjutnya "dimanfaatkan" untuk kepentingan penguasa Orde Baru.
Kini karena segala ajaran Orde Baru ditolak, konsep Ekonomi Pancasila
juga dianggap tidak pantas untuk disebut-sebut lagi.

Pada buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel
W. Bromley "A Development Alternative for Indonesia", bab 4 kami beri
judul The New Economics of Indonesian Development: Ekonomi Pancasila,
dengan isi (1) Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah
bukan Pembangunan di Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan
Multidisipliner dalam Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di
Universitas. Kesimpulan kami tetap sama seperti pada tahun 1979 yaitu
bahwa hanya dalam sistem Ekonomi Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dapat dicapai yaitu melalui etika, kemanusiaan,
nasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan. Berikut kami sampaikan
terjemahan bab terakhir (bab 5) Summary and Implications dari buku kami
tersebut.

Ringkasan dan Implikasi

Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan.
Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia
telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori
ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam
ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru
menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang
menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang
semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.

Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi
"Mazhab Amerika", pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan teori
ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan menerapkan
kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka
juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa
Indonesia.

Para "teknokrat" ini bergaul akrab dengan pakar-pakar dari IMF dan Bank
Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang pasar,
dengan alasan untuk menemukan "lembaga dan harga-harga yang tepat", dan
selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-penelitian
dan arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik, intervensi
pemerintah yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban pasar
sebagai sistem ekonomi yang baru saja dimenangkan. Doktrin ini sungguh
sangat kuat daya pengaruhnya terutama sejak jatuhnya rezim Stalin di
Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet. Nampaknya sudah berlaku
pernyataan "kini kita semua sudah menjadi kapitalis". Sudahkah kita
sampai pada "akhir sejarah ekonomi?". Belum tentu.

Keprihatinan kita yang kedua adalah bahwa pertumbuhan pendapatan
nasional per kapita sebenarnya merupakan indikator paling buruk dari
kemajuan serta pembangunan ekonomi dan sosial yang menyeluruh. Bagi
mereka yang bersikukuh bahwa Indonesia harus terus mengejar pertumbuhan
ekonomi sekarang, dan baru kemudian memikirkan pembagiannya dan
keberlanjutannya, kami ingin mengingatkan bahaya keresahan politik yang
sewaktu-waktu bisa muncul. Kami secara serius menolak pendapat yang
demikian. Suatu negara yang kaya dan maju berdasarkan sebuah indikator,
jelas bukan negara yang ideal jika massa besar yang terpinggirkan
berunjuk rasa di jalan-jalan. Keangkuhan dari pakar-pakar ekonomi dan
komitmen mereka pada kebijakan ekonomi gaya Amerika merupakan kemewahan
yang tak dapat lagi ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek perilaku yang
diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya
berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan
sejarah bangsa Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang
keliru secara intelektual yang harus dibayar mahal oleh Indonesia.
Komitmen pada model-model ekonomi abstrak dan kepalsuan pengetahuan
tentang proses pembangunan, mengancam secara serius keutuhan bangsa dan
keserasian politik bangsa Indonesia yang lokasinya terpencar luas di
pulau-pulau yang menjadi rawan karena sejarah, demografi, dominasi dan
campur tangan asing, dan ancaman globalisasi yang garang. Kami khawatir
Indonesia telah menukar penjajahan fisik dan politik selama 3½ abad,
dengan 3½ dekade "imperialisme intelektual". Sungguh sulit membayangkan
kerugian yang lebih besar lagi.

Gerakan Anti Globalisasi

Dalam 13 tahun terakhir sejak "Washington Concensus" [2] (1989)
mengkoyak-koyak perekonomian negara-negara berkembang dari mulai Amerika
Latin, bekas Uni Soviet, dan negara-negara Asia Timur, di mana-mana
muncul gerakan untuk melawannya, yang disebut gerakan anti-globalisasi.
Gerakan ini mengadakan unjukrasa (demonstrasi) menentang
pertemuan-pertemuan WTO, IMF, dan Bank Dunia, mulai dari Seattle (1999),
Praha (2000), sampai di Genoa Italia (2001). Dan berbagai LSM tingkat
dunia (NGO) menerbitkan buku-buku yang menganalisis secara ilmiah.
Terakhir terbit buku Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents
(Norton, 2002) yang diresensi di mana-mana karena Stiglitz kebetulan
adalah penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 2001 dan justru pernah menjadi
Wakil Presiden Senior Bank Dunia (1997-2000).

Washington Consencus adalah judul sebuah "kesepakatan" antara IMF, Bank
Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tercapai di
Washington DC berupa resep mengatasi masalah ekonomi negara-negara
Amerika Latin yang dirumuskan oleh John Williamson sekitar tahun 1989
yaitu 10 kebijakan/strategi: (1) fiscal discipline, (2) A redirection of
public expenditure priorities towards fields with high economic returns
and the potential to improve income distribution, such as primary health
care, primary education, and infrastructure, (3) Tax reform (to lower
marginal tax rates and broaden the tax base), (4) Interest rate
liberalization, (5) A competitive exchange rate, (6) Trade
liberalization, (7) Liberalization of FDI inflows, (8) Privatization,
(9) Deregulation (in the sense of abolishing barriers to entry and
exit), dan (10) Secure property rights.

Dari segi teori, perlawanan terhadap "imperialisme intelektual" ilmu
ekonomi Neoklasik sudah lebih lama meskipun juga menjadi lebih relevan
dan legitimate (syah) sejak "Washington Consensus". Selanjutnya Paul
Ormerod (The Death of Economics, 1992) menyatakan ilmu ekonomi Neoklasik
ortodoks harus dianggap sudah mati, dan Steve Keen "mene­lanjanginya"
dalam Debunking Economics (2001).

Di Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi Neoklasik dimulai tahun
1979 dalam bentuk konsep Ekonomi Pancasila, tetapi karena pemerintah
Orde Baru yang didukung para teknokrat (ekonomi) dan militer begitu
kuat, maka konsep Ekonomi Pancasila yang dituduh berbau komunis lalu
dengan mudah dijadikan musuh pemerintah, dan masyarakat seperti biasa
mengikuti "arahan" pemerintah agar konsep Ekonomi Pancasila ditolak.
Namun reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa paradigma
ekonomi selama Orde Baru memang keliru karena tidak bersifat kerakyatan,
dan jelas-jelas berpihak pada kepentingan konglomerat yang bersekongkol
dengan pemerintah. Maka munculah gerakan ekonomi kerakyatan yang
sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila, tetapi karena
kata Pancasila telah banyak disalahgunakan Orde Baru, orang cenderung
alergi dan menghindarinya. Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila
(bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial),
maka ekonomi kerak­yatan menekankan pada sila ke-4 saja yang memang
telah paling banyak dilanggar selama periode Orde Baru.

UGM telah memutuskan membuka Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP)
untuk menghidupkan kembali tekadnya mengembangkan sistem Ekonomi
Pancasila yang berawal pada tahun 1981 ketika Fakultas Ekonomi UGM
mencuatkan dan menggerakkan pemikiran-pemikiran mendasar tentang moral
dan sistem ekonomi Indonesia. Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila
dimaksudkan untuk benar-benar mengkaji dasar-dasar moral, ilmu, dan
sistem ekonomi yang sesuai dengan ideologi Pancasila, karena UGM sudah
lama dikenal sebagai pengembang gagasan Pancasila dan sudah memiliki
Pusat Studi Pancasila.

Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang
berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan
menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan
perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan
sampai 57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak
berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah
berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang budaya.

Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan
sosial mencakup:

a. Peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun
perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;

b. Penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan
sistem dan kebijakan ekonomi;

c. Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan
multikultural.

d. Pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial;

e. Penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;

f. Pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan
sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi
melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua
untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran
orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap
kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang
paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi
mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling
miskin dan tertinggal.(***)

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM

Detail online

Ditulis oleh: Unknown pada 02.10. Dibawah rubrik . Anda dapat mengikuti respon ini melalui Facebook - Twitter. Tinggalkan komentar untuk Bolmongfox

By Unknown on 02.10. Dibawah rubrik . Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response

0 komentar for "Ekonomi Kerakyatan Dalam Era Globalisasi "

Leave a reply

Popular Posts