Berapa banyak guru yang masih hidup? Ini kalimat pertama yang diucapkan Kaisar Hirohito dari Jepang, setelah menerima laporan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan ribuan orang.
Kalimat tanya itu praktis menempatkan guru sebagai satu unsur yang maha penting dalam tatanan kebangsaan. Sekaligus menyadarkan semua pihak tentang pentingnya pendidikan. Begitu agung dia (guru), hingga Sang Kaisar sama sekali tak bertanya berapa yang mati, atau siapa pejabat dan si kaya yang selamat.
Di Indonesia, pengagungan terhadap tugas dan jasa Bapak dan Ibu Guru yang mulia nan terpuji, terukir abadi dalam bait lagu bertitel ‘Hymne Guru’. Untaian kata dan makna dalam hymne tersebut telah tertancap dalam bawah sadar setiap kita yang pernah menjadi murid. Sebandel apapun si murid, namun nama guru-gurunya akan selalu hidup dalam sanubari. Itu pasti!
“Guru itu adalah kehormatan,” begitu pujian yang diucapkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) Anies Basweden pada peringatan Hari Guru Nasional, hari ini, Selasa (25/11).
Ya, di hari ini (yang dulunya dilabel Hari PGRI-Persatuan Guru Republik Indonesia), Indonesia memuja profesi guru di seantoro tanah air. Banyak juga kalangan, termasuk para murid, yang bukan hanya memberi hadiah lewat puji-pujian semata, tapi mengungkapkannya dalam bentuk hadiah khusus, seperti rangkaian bunga nan indahberhias tulisan “Terima Kasih Guruku”.
Semua memuji. Semua Memuja Bapak dan Ibu Guru. Namun di hari ini, belum ada kalangan yang bicara soal kesulitan Bapak dan Ibu Guru kita, ketika diperhadapkan pada tugas-tugasnya sebagai tenaga fungsional dalam struktur pemerintah daerah yang pragmatis dan politis.
Bahwa bagi Bapak dan Ibu Guru, mengajar dan mendidik murid, adalah hal lumrah karena pasti mereka telah dibekali ilmu pengetahuan tentang itu. Lalu apanya yang sulit? Itu adalah karena negara ini membuat aturan bahwa proyek-proyek rehab gedung sekolah, khususnya rehab gedung SD dan SMP, diatur semua Bapak dan Ibu Guru.
Standarnya, bahwa anggaran proyek tersebut langsung ditransfer ke rekening Kepala Sekolah, kemudian (katanya) kepala kepala sekolah yang berwenang penuh 100 persen menentukan pihak ketiga yang akan mengerjakan proyek tersebut.
Tapi itu semua hanya lips service! Itu aturan tertulis belaka! Sebab hasil investigasi ringan tim BOLMONG FOX mengungkap, bahwa kenyataan di lapangan Bapak/Ibu Guru yang menjadi kepala sekolah‘terjajah’ oleh birokrasi di atasnya, yang mengharuskan ia menerima saja siapapun kontraktor (pihak ketiga) yang telah ditunjuk ‘atasan’ untuk mengerjakan proyek tersebut. Kalau melawan, mutasi resikonya!
Konsekwensinya, muncullah istilah yang diberi nama fee. Konon fee itu minimal 10 persen dari total anggaran.Semua sudah tahu ke mana fee itu mengalir... Alhasil, terkadang guru dipaksa berbohong untuk menandatangani pengeluaran uang proyek yang tidak semestinya.
Bahkan tak jarang, Guru disuruh buat laporan bahwa proyek itu sudah selesai 100 persen per tanggal 15 Desember (batas akhir pemasukan adminsitrasi penagihan di pemerintah), dengan tujuan agar anggaran sudah bisa dicairkan semuanya. Tapi pada kenyataannya, pekerjaan masih tetap berlangsung sampai akhir Desember bahkan ada yang sampai bulan Januari tahun berikutnya.
Mau bukti? Mari kita amati (kalau perlu sampai selidiki) capaian semua proyek rehab gedung SD dan SMP pada semua daerah di Bolmong Raya yang dianggarkan tahun 2014 ini. Hampir pasti, banyak yang belum kelar 100 persen pada tanggal 15 Desember 2014 mendatang. Tapi coba cek administrasi penagihan keuangan yang dimasukkan lewat DPPKAD (Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) kemudian berakhir di Bank, di mana laporannya diprediksi hampir semua telah ‘disulap’ bahwa pekerjaan itu sudah selesai 100 persen. Tujuannya hanya satu, supaya duit sudah bisa dicairkan semua (95 persen dari total anggaran; sebab 5 persen untuk pemeliharaan).
“Kalau hanya mengajar dan mendidik anak-anak, bukan tugas yang sulit sebab telah menjadi tugas rutin kami sebagai guru. Yang paling sulit adalah masalah proyek rehab gedung sekolah,” begitu gerutu dari seorang pensiunan guru yang pernah menangani langsung proyek rehab gedung sekolah.
“Kita mengajarkan pendidikan karakter kepada murid-murid salah satu tujuannya adalah selalu jujur. Tapi giliran kita mengurus proyek (rehab sekolah), malah jadi bingung sendiri,” imbuhnya.
Bercermin dari kisah tersebut, sejatinya di hari guru seperti Selasa hari ini (25/11), pemerintah dan semua stakeholder (pemangku kepentingan) bukan hanya melayangkan puji-pujian kepada Bapak dan Ibu Guru, tetapi juga turut membantu dan mencari solusi atas kesulitan yang dialami ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ ini.
Mari bersama kita mencari jalan keluar, supaya Bapak dan Ibu Guru kita tak dijadikan alat mencari keuntungan dari para pemain-pamain proyek. Atau kita bergerak memperjuangkan aturan baku dalam pelaksanaan proyek rehab gedung sekolah. Bahwa ketika juknis (petunjuk teknis) mengharuskan proyek itu adalah kewenangan penuh sang guru (baca: kepala sekolah, red), maka semua bentuk intervensi dari kontraktor, atau Dinas Pendidikan, ataupun oknum yang mengaku memiliki kedekatan/kekuatan politik, harus DIBERANGUS. Dan INTERVENSI ITU harus dikategorikan sebagai bentuk PELANGGARAN BERAT dalam dunia Pendidikan. VIVA AKADEMIA!“Selamat Hari Guru Nasional”.(***)